Indonesia harus siap menerima kenyataan hal serupa yang pernah terjadi terhadap Timor Timur (kini Timor Leste) akan dialami lagi, yaitu pada Papua kalau hal yang terjadi sekarang cuma didiamkan.
Kian hari polemik negeri ini kian bertambah dan menunpuk. Hal yang saat ini cukup terasa miris bagi kita yaitu yang terjadi pada saudara kita di Papua. Sudah lebih dari satu minggu masyarakat di sana melalukan aksi, tapi seolah-olah tak menarik perhatian rezim untuk ditanggulangi. Rezim malah sibuk dengan urusannya untuk pemindahan ibukota. Entah apa yang sedang mereka pikirkan dan rencanakan untuk negeri ini.
Hal ini diawali dari suatu tindakan rasis yang dialami oleh saudara kandung kita ini, Papua. Di mana ada aparat yang mengatakan hal yang tidak sepatutnya kepada mahasiswa (red: monyet) di Surabaya. Kejadian ini memancing kemarahan warga Papua lainnya, hingga hal ini menyebar ke kota-kota lainnya untuk menuntuk tindakan tegas dari pemerintah terhadap pelaku rasisme ini. Karena menurut mereka, ini bukan pertaman kalianya mereka di sebut seperti itu. Kemudian hal ini berbuntut dengan aksi yang dilakukan di tanah Papua itu sendiri, namun tidak ada tanggapan serius dari pemerintah, dan akhirnya Papua menuntut referendum.
Sebenarnya kasus ini cuma pemantik, karena memang sudah dari dulu Papua ingin menyatakan referendum, berdiri sendiri dan memisahkan diri dari Indonesia. Tapi hal itu masih ditahan-tahan, karena kita tidak ingin kehilangan saudara kita lagi seperti yang terjadi pada Timor Timur. Kalau hal itu terjadi, itu merupakan salah satu wujud gagalnya pemerintah dalam mengelola negara.
Memprihatinkan memang nasib negeri ini. Di mana seolah-olah kejadian di Papua ini tidak begitu penting bagi rezim. Ketika terjadi aksi demonstrasi, bukannya rezim membantu mencarikan solusi, malah memutuskan jaringan internet dan memadamkan listrik sehingga informasinya tidak menyebar terlalu luas. Bahkan sosok pengendali terbesar (red: presiden) cuma berkata "Papua harap tenang", mau tenang bagaimana? Papua membutuhkan sosoknya di sana.
Ketika saudaraku sedang panas, saudaraku sedang mengalami kesakitan, bapakku cuma diam dan tetap sibuk dengan urusannya. Saudara kandungku diperlalukan seperti anak tiri. Jangan menyesal apalagi marah kalau nanti saudaraku ini pergi dari rumah kita, Indonesia. Karena kenyataannya bapak tidak bisa mengurus anak bapak yang satu ini.
Jika kita lihat kebelakang, bukankah dari pilpres kemaren suara warga Papua banyak yang memilih presiden yang sedang menjabat sekarang? Bukankah itu artinya Papua menaruh harapan yang besar buat presiden kita yang sekarang? Sedihnya, ketika cuma ramai di kampanye namun menghilang ketika terjadi sesuatu yang bergejolak di tanah Papua. Kalau kenyataannya seperti ini, dari mana asal suara yang banyak tadi?
Ayolah para bapak-bapakku, temui dulu saudaraku sebentar. Nanti dulu urus masalah pemindahan ibukotanya. Jangan bersikap acuh seperti ini, jangan tutup mata, telinga dan mata hatimu. Nanti dulu bersenang-senangnya, nanti dulu nontonin wayangnya, nanti dulu main sepedanya.
Saya yakin yang dibutuhkan saudara kita di Papua sana hanyalah kehadiran sosok pemimpin negeri ini di tanah Papua. Datang ke sana untuk menenangkan secara langsung, bukan cuma lewat sosial media.
Saudara kandungku juga anakmu, Pak. Jangan biarkan saudramu meninggalkan rumah kita.
Wallahu a'lam.
Kian hari polemik negeri ini kian bertambah dan menunpuk. Hal yang saat ini cukup terasa miris bagi kita yaitu yang terjadi pada saudara kita di Papua. Sudah lebih dari satu minggu masyarakat di sana melalukan aksi, tapi seolah-olah tak menarik perhatian rezim untuk ditanggulangi. Rezim malah sibuk dengan urusannya untuk pemindahan ibukota. Entah apa yang sedang mereka pikirkan dan rencanakan untuk negeri ini.
Hal ini diawali dari suatu tindakan rasis yang dialami oleh saudara kandung kita ini, Papua. Di mana ada aparat yang mengatakan hal yang tidak sepatutnya kepada mahasiswa (red: monyet) di Surabaya. Kejadian ini memancing kemarahan warga Papua lainnya, hingga hal ini menyebar ke kota-kota lainnya untuk menuntuk tindakan tegas dari pemerintah terhadap pelaku rasisme ini. Karena menurut mereka, ini bukan pertaman kalianya mereka di sebut seperti itu. Kemudian hal ini berbuntut dengan aksi yang dilakukan di tanah Papua itu sendiri, namun tidak ada tanggapan serius dari pemerintah, dan akhirnya Papua menuntut referendum.
Sebenarnya kasus ini cuma pemantik, karena memang sudah dari dulu Papua ingin menyatakan referendum, berdiri sendiri dan memisahkan diri dari Indonesia. Tapi hal itu masih ditahan-tahan, karena kita tidak ingin kehilangan saudara kita lagi seperti yang terjadi pada Timor Timur. Kalau hal itu terjadi, itu merupakan salah satu wujud gagalnya pemerintah dalam mengelola negara.
Memprihatinkan memang nasib negeri ini. Di mana seolah-olah kejadian di Papua ini tidak begitu penting bagi rezim. Ketika terjadi aksi demonstrasi, bukannya rezim membantu mencarikan solusi, malah memutuskan jaringan internet dan memadamkan listrik sehingga informasinya tidak menyebar terlalu luas. Bahkan sosok pengendali terbesar (red: presiden) cuma berkata "Papua harap tenang", mau tenang bagaimana? Papua membutuhkan sosoknya di sana.
Ketika saudaraku sedang panas, saudaraku sedang mengalami kesakitan, bapakku cuma diam dan tetap sibuk dengan urusannya. Saudara kandungku diperlalukan seperti anak tiri. Jangan menyesal apalagi marah kalau nanti saudaraku ini pergi dari rumah kita, Indonesia. Karena kenyataannya bapak tidak bisa mengurus anak bapak yang satu ini.
Jika kita lihat kebelakang, bukankah dari pilpres kemaren suara warga Papua banyak yang memilih presiden yang sedang menjabat sekarang? Bukankah itu artinya Papua menaruh harapan yang besar buat presiden kita yang sekarang? Sedihnya, ketika cuma ramai di kampanye namun menghilang ketika terjadi sesuatu yang bergejolak di tanah Papua. Kalau kenyataannya seperti ini, dari mana asal suara yang banyak tadi?
Ayolah para bapak-bapakku, temui dulu saudaraku sebentar. Nanti dulu urus masalah pemindahan ibukotanya. Jangan bersikap acuh seperti ini, jangan tutup mata, telinga dan mata hatimu. Nanti dulu bersenang-senangnya, nanti dulu nontonin wayangnya, nanti dulu main sepedanya.
Saya yakin yang dibutuhkan saudara kita di Papua sana hanyalah kehadiran sosok pemimpin negeri ini di tanah Papua. Datang ke sana untuk menenangkan secara langsung, bukan cuma lewat sosial media.
Saudara kandungku juga anakmu, Pak. Jangan biarkan saudramu meninggalkan rumah kita.
Wallahu a'lam.
Komentar